
Proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang membutuhkan dana Rp 446 triliun secara umum berasal dari beberapa alternatif pembiayaan, mulai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hingga swasta.
Akan tetapi, pemerintah juga mulai ancang-ancang untuk menarik pajak khusus ibu kota baru. Rencana tersebut ada dalam Rancangan Undang-undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang saat ini tengah dibahas oleh DPR.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Ekonomi sekaligus Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu tampak heran dengan kebijakan tersebut. Dia mengatakan, rencana penarikan pajak khusus IKN ini tidak teratur (rancu) bahkan tidak memiliki kedudukan hukum.
“Itu rancu, dia (RUU IKN) sebutkan boleh memberikan pungutan khusus IKN, pungutan khusus IKN pasal 24. Jadi itu tidak ada kedudukan hukumnya,” kata Anggito dalam Rapat Dengar Pendapat Umum RUU IKN dengan Panitia Khusus RUU IKN, Kamis (9/12/2021).
Dia mengatakan, istilah pungutan khusus tersebut harus memiliki dasar Undang-undangnya. Karena, kata dia, pajak atau pungutan akan dibebankan kepada masyarakat.
“Ada satu item yang saya tidak tahu, ada namanya pungutan khsus IKN pasal 24. Kalau pungutan itu harus ada Undang-undangnya Pak, karena dia beban kepada negara, beban kepada masyarakat,” ujarnya.
Dia menyarankan, seharusnya tidak ada bentuk pungutan pajak khusus IKN. Jika pun ada, maka pemerintah harus menjelaskan ketentuan-ketentuannya.
“Jadi harus ada ketentuannya, menurut saya (seharusnya) tidak ada. Kalau pusat ada dua (jenis) pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) kalau daerah ya ada pajak daerah dan kontribusi daerah. Itu saja tidak ada yang lain,” pungkasnya.
Sekedar informasi, Pasal 24 ayat 2 RUU IKN dijelaskan, dalam rangka pendanaan untuk penyelenggaraan IKN, Pemerintahan Khusus IKN dapat melakukan pemungutan pajak dan/atau pungutan khusus IKN.
Pada bagian penjelasan diterangkan, yang dimaksud dengan pajak dalam ayat 2 adalah pajak yang berlaku khusus untuk IKN. Sedangkan yang dimaksud dengan pungutan adalah termasuk jenis-jenis retribusi yang berlaku khusus untuk IKN.
“Pajak dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak dan pungutan khusus IKN,” bunyi ayat 3.
Dijelaskan lebih lanjut, berlaku secara mutatis mutandis sebagai pajak dan pungutan khusus IKN, namun tidak terbatas pada ketentuan mengenai objek, subjek, wajib pajak/retribusi, dasar pengenaan, serta tarif pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah,” bunyi ayat 4.
Sumber: pemeriksaanpajak.com
Kategori:artikel
Tinggalkan Balasan