
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) resmi mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta kerja (Ciptaker) Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi Undang-Undang (UU).
Pengesahan RUU ini menjadi UU memang sempat mendapatkan penolakan dari para buruh karena dianggap tidak memihak. Terutama mengenai poin pesangon yang tidak lagi diberikan ketika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk beberapa kriteria.
Padahal dari draf RUU yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (6/10/2020) yang telah disahkan ini, beberapa poin soal pesangon tetap diberikan. Namun memang ada kriteria soal PHK.
Dalam pasal Pasal 154A pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a.perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b.perusahaan melakukan efisiensi;
c.perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian;
d.perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (forcemajeur).
e.perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f.perusahaan pailit;
g.perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh;
h.pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
i.pekerja/buruh mangkir;
j.pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
k.pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;
l.pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelahmelampaui batas 12 (dua belas)bulan;
m.pekerja/buruh memasuki usia pensiun;atau
n.pekerja/buruh meninggal dunia.
Namun, dapat dipastikan di dalam Pasal 156 tertuang :“Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.”
Sumber: cnbcindonesia
Kategori:Berita
Tinggalkan Balasan